nina zea laksmitasari

Selasa, 08 Maret 2011

sejarah kelas XI (deandles, raffles, tanam paksa)

TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN KOLONIAL HINDIA BELANDA
A. Runtuhnya VOC dan terbentuknya pemerintahan colonial Hindia Belanda
Bersamaan dengan makin meluasnya kekuasaan VOC, di pihak VOC sebenarnya mendekati keruntuhannya karena beberapa factor, antara lain sebagai berikut :
a) VOC banyak mengeluarkan biaya, baik untuk operasi – operasi militer (menghadapi perlawanan rakyat) maupun untuk penyelenggaraan pemerintahan sehingga hutangnya menumpuk.
b) Banyak pegawai VOC yang mencari keuntungan pribadi dengan melakukan korupsi.
Oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan. Dengan demikian, secara politik sejak 1 Januari 1800 Indonesia berada dibawah kekuasaan pemerintah colonial Hindia Belanda.

B. Pembaharuan system pemerintahan Hindia Belanda dibawah DAENDLES (1808 – 1811)
Dalam usaha mengadakan pembaharuan pemerintahan di tanah jajahan, di Negeri Belanda ada 2 golongan yang mengusulkan, yaitu :
• Golongan Konservatif dengan tokohnya Nenenberg menginginkan untuk mempertahankan system politik dan ekonomi seperti yang dilakukan oleh VOC.
• Golongan Liberal dengan tokohnya Dirk van Hogendorp menghendaki agar pemerintahan Hindia Belanda menjalankan system pemerintahan langsung dan menggunakan system pajak. System penyerahan paksa yang dilakukan oleh VOC agar digantikan dengan system penyerahan pajak.
Dengan adanya 2 pandangan ini maka pemerintah Belanda mengambil jalan tengah. Gagasan pembaharuan pemerintahan colonial Belanda dimulai semenjak pemerintahan Daendleas.
Sejak Belanda dikuasai oleh Perancis maka Kaesar Napoleon yang memimpin Perancis mengangkat adiknya Louis Napoleon menjadi penguasa di negeri Belanda. Louis Napoleon merasa khawatir dengan keberadaan Pulau Jawa yang merupakan jantung jajahan Belanda di Indonesia jatuh ke tangan Inggris. Oleh karena itu, Louis Napoleon mengirim seorang militer Herman Willem Daendles ke Indonesia (Pulau Jawa) sebagai gubernur jenderal.
Pada tanggal 1 Januari 1808 bersama ajudannya mendarat di Banten. Pada tanggal 15 Januari 1808, Gubernur Jenderal Wiese menyerahkan kekuasaannya kepada Daendles. Kedatangan Daendles ke Indonesia sebagai gubernur jenderal mempunyai 2 tugas, yaitu :
1) Mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris.
2) Memperbaiki keadaan tanah jajahan di Indonesia.

Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, Daendles mengambil langkah – langkah yang bijak, seperti :
 Membuat jalan raya dari Anyer sampai Panarukan.
 Mendirikan benteng – benteng pertahanan.
 Membangun pangkalan angkatan laut di Merak dan Ujung Kulon.
 Mendirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
 Memperkuat pasukan yang anggotanya terdiri atas orang – orang Indonesia.

Selain usaha – usaha dalam bidang pertahanan kemiliteran, di bidang pemerintahan Daendles mengambil tindakan sebagai berikut :
 Pulau Jawa dibagi menjadi sembilan prefecture dengan tujuan untuk mempermudah administrasi pemerintahan.
 Para bupati dijadikan pegawai pemerintahan Belanda.
 Perbaikan gaji pegawai dan memberantaskorupsi.
 Pendirian badan – badan pengadilan.

Usaha yang dilakukan Daedles banyak membutuhkan biaya. Untuk itu, Daendles menempuh jalan sebagai berikut :
1. Aturan penyerahan sebagian dari hasil bumi sebagai pajak dan aturan penjualan paksa hasil bumi kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
2. Pelaksanaan kerja rodi (seperti pembuatan jalan Anyer – Panarukan).
3. Penjualan tanah kepada orang – orang partikelir (orang Belanda atau Cina) sehingga lahirlah tanah – tanah milik swasta.
4. Perluasan tanaman kopi, karena hasilnya menguntungkan.
Daendles sebenarnya seorang liberal, tapi setelah tiba di Indonesia berubah menjadi seorang dictator yang bertindak kejam dan sewenang – wenang. Akibatnya, pemerintahannya banyak menimbulkan kritik baik dari dalam maupun dari luar negeri, akhirnya Daendles digantikan oleh Jansen. Jansen ternyata tidak mampu menahan serangan Inggris sehingga menyerah di Tuntang. Ia pun menandatangani penyerahan kekuasaan itu di daerah Tuntang Salatiga. Oleh karena itu, perjanjian itu dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang (18 September 1811). Isi pokok perjanjiannya ialah seluruh Pulau Jawa menjadi milik Inggris. Sejak saat itu Indonesia menjadi jajahan Inggris.


C. Pemerintahan Raffles (1811 – 1816)
Setelah Indonesia, (khususnya Pulau Jawa) jatuh ke tangan Inggris, oleh pemerintah Inggris dijadikan bagian dari jajahannya di India. Gubernur Jenderal East India Company (EIC), Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta (India) kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur (wakil gubernur) untuk Indonesia (Jawa). Raffles didampingi oleh badan penasihat yang disebut Advisory Council. Tugas yang utama adalah mengatur pemerintahan dan meningkatkan perdagangan serta keuangan. Raffles menginginkan adanya perubahan – perubahan dalam pemerintahan di Indonesia (Jawa). Langkah – langkah yang diambil dalam bidang pemerintahan, antara lain sebagai berikut :
a) Pulau Jawa dibagi menjadi 18 keresidenan.
b) Para bupati dijadikan pegawai pemerintah, sehingga mereka mendapat gaji dan bukan lagi memiliki tanah dengan segala hasilnya.

Dalm bidang perdagangan – keuangan, diambil langkah – langkah sebagai berikut :
o Penghapusan segal bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa / rodi.
o Pemberian kebebasan dalam usaha perdagangan dengan member kesempatan rakyat untuk ikut serta dalam perdagangan. Rakyat diberi kebebasan untuk menanam tanaman – tanaman yang laku di pasaran internasional.
o Pelaksanaan monopoli garam.
o Penjualan tanah kepada pihak swasta dan melanjutkan usaha penanaman kopi.
o Penciptaan system sewa tanah atau landrente.
Landrente yang diciptakan untuk memperbaiki system pajak, ternyata tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan rakyat tidak mampu membayar pajak dengan uang. Di samping itu, pemungutan yang semula direncanakan secara perseorangan sulit dilaksanakan dan diganti secara kelompok. Selain itu, pemungutan dilakukan oleh para pejabat yang bertindak sewenang – wenang dan korupsi. Akibatnya, usaha Raffles untuk menjalankan system sewa tanah mengalami kegagalan.
Kegiatan Raffles lain yang menonjol ialah dalam bidang ilmu pengetahuan. Raffles berhasil menyusun buku sejarah yang berjudul History of Java yang terdiri atas dua jilid dan diterbitkan pertama kali tahun 1817.
Situasi di Indonesia tidak dapat terlepas dari situasi Eropa. Setelah negara Koalisi berhasil mengalahkan Perancis (Napoleon Bonaparte) dalam Battle of the Nation di Leipzig (1813), kemudian mengadakan kongres di Wina. Berdasarkan Kongres Wina tahun 1814, Belanda kembali menjadi negara merdeka. Selanjutnya, berdasarkan Konvensi London (antara Inggris dan Belanda 1814), Belanda menerima tanah jajahannya kembali yang diserahkan Inggris berdasarkan Kapitulasi Tuntang (1811). Penyerahan Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda terealisasi pada tahun 1816. Pihak Inggris diwakili oleh John Vendell, sedangkan di pihak Belanda oleh tiga orang komisaris jenderal, yakni Elout, Buyskess, dan Van der Capellen.


SISTEM TANAM PAKSA (1830 – 1870)
A. Latar belakang timbulnya system tanam paksa.
Sejak awal abad ke – 19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
Untuk menyelamatkan negeri Belanda dari bahaya kebangkrutan maka Johannes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar utang dan membiayai perang. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga kerja jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil – hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut :
1) System sewa tanah dengan uang harus di hapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaanya sulit.
2) System tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib, dengan jenis – jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

B. Aturan – aturan tanam paksa.
System tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari system tanam wajib (VOC) dan system pajak tanah (Raffles), dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :
 Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
 Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
 Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda.
 Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
 Kegagalan panen menjadi tanggung jawab pemerintah.
 Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengankutan, perkebunan, pabrik – pabrik selama 66 hari.
 Penggarapan tanaman dibawah pengawasan langsung oleh kepala – kepala pribumi, sedangkan pihak Belnda sebagai pengawas secara umum.

C. Pelaksanaan Tanam Paksa.
Melihat aturan – aturannya, system tanam paksa tidak terlalu memberatkan namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya culture procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan – penyelewengan, antara lain :
 Tanah yang disediakan melebihi 1/5, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
 Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
 Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerintah tidak dibayar.
 Waktu yang dibutuhkan ternyata melebihi waktu penanaman padi.
 Pekerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah.
 Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata tidak dikembalikan.

D. Akibat tanam paksa.
Pelaksanaan system tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eksploitasi agraris semaksimal mungkin.
1. Bagi Indonesia (Jawa)
• Sawah lading menjadi terbengkalai karena diwajibkan kerja rodi.
• Beban rakyat semaikn berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya.
• Akibat bermacam – macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
• Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
• Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana – mana sehingga angka kematian meningkat drastic, bahaya kelaparan, dan penyakit busung lapar.

2. Bagi Belanda
Apabila system tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi Indonesia, sebaliknya dengan Belanda seperti :
• Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
• Hutang – hutang Belanda terlunasi.
• Penerimaan pendapatan melebihi anggran belanja.
• Kas negara Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
• Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
• Perdagangan berkembang pesat.

E. Akhir tanam paksa.
System tanam paksa yang mengakibatkan kemiskinan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini :
1) Golongan pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaries yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi assiten residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samara “Multatuli” yang berarti “aku telah banyak menderita” ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur – angsur menghapuskan system tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan tahun 1865, tembakau tahun 1866, tebu tahun 1884,dan yang terakhir kopi tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar